Metode SCS-CN
Metode SCS-CN
Dalam bukunya yang berjudul Applied Hidrology (1998), Ven Te Chow menyatakan bahwa metode SCS (Soil Conservation Service) merupakan hasil dari pengamatan curah hujan yang dilakukan selama bertahun-tahun di berbagai daerah pertanian di Amerika Serikat. Metode ini bertujuan untuk menghubungkan karakteristik DAS seperti jenis tanah, vegetasi, dan penggunaan lahan dengan bilangan kurva air larian CN (runoff curve number) yang mencerminkan potensi aliran air untuk curah hujan tertentu. Konsep CN didasarkan pada hubungan antara infiltrasi tanah dan jumlah curah hujan yang terjadi setiap kali hujan. Metode ini awalnya dikembangkan oleh USDA (United States Department of Agriculture).
Total curah yang jatuh pada setiap hujan (P) di atas tanah dengan potensi maksimal tanah untuk menahan (retention) air (S) dan Abstraksi awal (Ia). Keseluruhan parameter tersebut dihubungkan dengan rumusan sebagai berikut:
di mana:
Pe = volume limpasan permukaan (mm)
P = hujan harian (mm)
S = volume total simpanan permukaan (mm)
Dari persamaan tersebut juga perlu memperhatikan koerelasi antara Ia dan S yaitu sebagai berikut:
Maka akan didapatkan persamaan berikut:
Sedangkan, untuk menghitung besaran dari nilai S dapat menggunakan rumus sebagai berikut:
Nilai CN sendiri berkisar dintara 0 sampai dengan 100 yang menggambarkan besaran air yang tidak terserap oleh tanah dan akhirnya akan teralirkan. Dalam sebuah DAS, nilai CN sangat bergantung dengan tata guna lahan/tutupan lahan, jenis tanah, dan curah hujan.
Untuk menentukan nilai CN, harus memperhatikan kondisi kelembapan tanah relatif atau Antecedent Moisture Conditions(AMC). AMC mempengaruhi volume laju aliran permukaan, tanah dengan kondisi jenuh, air berkontribusi menghasilkan air permukaan besar, dan sebaliknya. Terdapat 3 kondisi AMC berdasarkan jumlah hujan selama 5 hari, antara lain (Triatmodjo, 2008):
Antecedent Moisture Condition I (AMC I): tanah pada DAS dalam keadaan kering, potensi limpasan rendah tetapi tidak sampai pada titik layu, dan telah atau pernah ditanami dengan hasil baik. AMC I digunakan untuk menganalisis CN pada musim kemarau.
Antecedent Moisture Condition II (AMC II): kondisi tanah dalam keadaan rata-rata (average condition)
Antecedent Moisture Condition III (AMC III): tanah pada DAS dalam keadaan jenuh air, terjadi pada keadaan hujan lebat atau ringan dan temperatur rendah, dan potensi limpasan air tinggi. AMC III digunakan untuk menganalisis CN pada musim hujan.
Dari tabel tersebut, dapat dilihat jika tanah yang ada digolongkan menjadi 4 buah kelompok, terdapat hal mendasar yang membedakan golongan dari 4 jenis tanah tersebut sebagaimana berikut: (Asdak, 2002)
Kelompok Tanah A
Laju infiltrasi : 8 - 12 mm/jam
Potensi limpasan permukaan paling kecil, termasuk tanah pasir dalam dengan unsur debu dan liat. Laju infiltrasi tinggi
Kelompok Tanah B
Laju infiltrasi : 4 - 8 mm/jam
Potensi limpasan permukaan kecil, tanah berpasir lebih dangkal dari A. Tekstur halus sampai sedang. Laju infiltrasi sedang.
Kelompok Tanah C
Laju infiltrasi : 1 - 4 mm/jam
Potensi limpasan permukaan sedang, tanah dangkal dan mengandung cukup liat. Tekstur sedang sampai halus. Laju infiltrasi rendah.
Kelompok Tanah D
Laju infiltrasi : 0 - 1 mm/jam
Potensi limpasan permukaan tinggi, dominasi tanah liat, dangkal dengan lapisan kedap air dekat. Infiltrasi paling rendah.
Nilai CN pada tabel diatas berkaitan dengan kondisi Antecedent Moisture Condition II. Untuk mencari nilai ekivalen pada kondisi Antecedent Moisture Condition I dan juga Antecedent Moisture Condition III. Dapat dihitung dengan menggunakan persamaan berikut:
Dalam suatu Daerah Tangkapan Air secara umnum tersusun dari beberapa tata guna lahan yang berbeda-beda. Oleh karena itu diperlukan menghitung besaran nilai CN yang digunakan untuk menghitung besaran CN rata-rata yang merepresentasikan semua tutupan lahan pada suatu daerah tangkapan air dengan nilai CN terbobot dengan menggunakan rumus berikut: